ASEPHI Pekalongan Optimis Mampu Bersaing Hadapi MEA

KOTA – Badan Pengurus Cabang (BPC) Asosiasi Eksportir dan Pengusaha Handicraft Indonesia (ASEPHI) Pekalongan mengaku optimistis mampu bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau perdagangan bebas ASEAN.

 

Sebagaimana disampaikan Kepala BPC ASEPHI Pekalongan H Romi Oktabirawa, kemarin (11/2). “Menghadapi MEA, persaingan bebas ASEAN, dan semacamnya, insya Allah kita siap. Pasar handycraft secara global masih terbuka luas. Yang penting optimis,” ungkapnya.

 

Masih luasnya pangsa pasar produk-produk handycraft atau kerajinan dari Indonesia, khususnya Pekalongan, menurut Romi karena handycraft adalah produk kreatif. “Bicara handycraft, kita tidak bicara teknologi tinggi atau hi-tech, tetapi kreativitas,” ujarnya.

 

Maka dari itu, Pekalongan punya potensi besar untuk bisa menembus pasar global di era persaingan bebas saat ini. Apalagi jika bicara handycraft, maka tidak terbatas hanya pada batik, tetapi juga hasil kerajinan lainnya seperti tenun dan sebagainya. “Tidak salah Pekalongan disebut sebagai kota kreatif karena di sini ada segala macam kerajinan, mulai dari batik, tenun, eceng gondok, akar wangi, dan lain sebagainya yang punya nilai tinggi,” katanya.

 

*) PROMOSI PENTING

 

Hanya saja, tegas Romi, ada berbagai syarat agar para pengrajin handycraft bisa bersaing. Salah satu yang penting, adalah dengan menggencarkan promosi untuk memperluas pasar. Strategi promosi dan marketing pun harus mengikuti perkembangan zaman, tidak lagi hanya dengan cara konvensional. “Kalau tidak mau promosi ya mati. Kalau tidak mau mati ya harus promosi. Banyak strategi marketing, terutama marketing gaya sekarang. Kawan-kawan harus bisa penetrasi pasar,” tandasnya.

 

Salah satu cara promosi atau memasarkan produk pada masa sekarang ini adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi. Memanfaatkan dunia maya, supaya produknya bisa dikenal luas secara global. Antara lain, dengan membuka ‘virtual shop’ atau toko virtual.

 

Toko virtual ini akan bisa dilihat oleh masyarakat dunia. Pemasaran dengan cara seperti ini kalau digarap secara serius akan jauh lebih efektif dibanding hanya memasarkan barang kita di gerai. Jadi intinya, harus promosi sesuai dengan perkembangan zaman,” tuturnya.

 

Romi menambahkan, untuk memberikan nilai tambah terhadap karya yang dihasilkan, maka penetrasi tidak hanya dilakukan pada event-event pasar semata. Tetapi juga pada event budaya. Bahkan, dalam karyanya itu, turut sertakan filofosi budaya atau sisi hostoris. Dia mencontohkan akan kain batik. Jika tidak digencarkan melalui budaya dan mengedukasi masyarakat akan nilai filosofi yang terkandung di dalam sehelai kain batik, maka batik itu hanya akan dinilai sebatas sehelai kain yang tidak bermakna.

 

Kalau masyarakat tidak diedukasi tentang nilai filosofi historikal batik, maka yang ada hanya visualisasi kain batik yang notabene produk printing lebih bagus, lebih murah, dan semacamnya. Beda halnya jika dengan membranding dan memasarkan batik lewat budaya. Otomatis ‘added value-nya’ (nilai tambahnya) ada, karena batik mempunyai filosofi historikal tadi,” pungkasnya. (way)

 

(Sumber : RADAR PEKALONGAN, 12-02-2016)