Kurang Prosedur, 40 persen Permintaan Informasi Ditolak

KOTA PEKALONGAN – Sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik, Diskominfo Kota Pekalongan berupaya terus memberikan permintaan informasi oleh masyarakat yang disampaikan melalui Pusat Layanan Informasi Publik (PPIP). Namun dari ratusan permintaan informasi yang masuk, hanya 60 persen permintaan yang diterima dan diberikan informasinya.

 

Selama ini memang ada yang ditolak dan ada yang diterima. Sekitar 60 persen permintaan informasi yang masuk kami terima dan 40 persen lainnya ditolak. Penolakan dilakukan bukan karena alasan ketidaksediaan membuka informasi namun lebih dikarenakan kesalahan atau kekurangan prosedur,” tutur Kepala Diskominfo Kota Pekalongan, Sri Budi Santoso dalam kegiatan Sosialisasi Keterbukaan Informasi Publik untuk Mewujudkan Transparansi dan Akuntabilitas serta Melawan Hoax yang digelar di STIE Muhammadiyah.

 

Menurut Sri Budi, meski dimungkinkan melakukan penolakan jika informasi yang diminta merupakan rahasia, namun sejauh ini pihaknya belum pernah melakukan penolakan dengan alasan tersebut. “Sejauh ini seblum pernah menolak dengan alasan informasi dirahasiakan. Namun ada yang kami tolak karena informasi belum dikuasai,” tambahnya.

 

Menangkal Hoax

 

Keterbukaan informasi publik, juga menjadi salah satu upaya menangkal hoax. Dengan adanya penjelasan gamblang dan transparan, maka informasi hoax juga akan terminimalisir. “Sebelum munculnya berbagai berita atau persepsi palsu, jika sudah ada klarifikasi secara transparan itu akan mencegah munculnya hoax. Hoax bisa muncul karena terlambatnya pemerintah memberikan informasi ke masyarakat,” tutur Ketua Aliansi Rakyat Anti Hoax (Arah), M Luthfi yang juga menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut.

 

Menurutnya, saat ini keberadaan hoax sudah menyebar luas. Hampir setiap hari, masyarakat dihadapkan dengan berita hoax. Sehingga ia berpesan, masyarakat harus lebih berhati-hati menyikapi informasi. Sebab yang terlihat, belum tentu benar. “Pengalaman saya sebagai wartawan, ketika terjadi kecelakaan dengan kondisi parah dan menerima informasi dari masyarakat sekitar bahwa korban meninggal, tanpa klarifikasi lebih dalam saya tulis korban meninggal. Ternyata esoknya di masih hidup,” kisahnya saat menuturkan tentang pengalamannya yang memicu munculnya berita hoax.

 

Untuk melawan berita hoax, Lutfi juga menyarankan agar elemen masyarakat mengedepankan tabayun dan klarifikasi. Jika menerima berita bombastis, tanyakan terlebih dahulu kepada organisasi, kepada instansi terkait maupun kepada orang terdekat yang memiliki informasi lebih tentang berita tersebut. “Karena yang dirugikan dari munculnya hoax adalah masyarakat sendiri,” pesannya.

 

Ketua STIE Muhammadiyah, Sobrotul Imtikhanah yang bertindak sebagai narasumber ketiga menuturkan bahwa sudah saatnya masyarakat menggunakan haknya untuk meminta informasi dari pemerintah untuk mewujudkan keterbukaan informasi publik. Dengan mengetahui informasi baik terkait anggaran atau program pemerintah, maka masyarakat dapat sekaligus ikut mengontrol jalannya pemerintahan. “Apalagi sebagai mahasiswa juga harus peka dan mau untuk berkontribusi dalam memberikan kritik dan saran kepada pemerintah,” katanya.

 

Sementara untuk meminimalisir berita hoax, ia juga meminta agar masyarakat baiknya mengakses berita atau informasi lewat sumber yang jelas. Masyarakat juga harus peka dan belajar menilai mana berita hoax atau bukan. “Karena saat ini hoax sudah menjadi komoditas. Diharapkan mahasiswa bisa menjadi filter, jangan justru menjadi penyebar hoax. Sebelum mengatahui kebenarannya, jangan sebarkan informasi yang didapatkan,” tandasnya. (nul)

 

 

 

(SUMBER : RADAR PEKALONGAN, 19-05-2017)